Pemerintah telah menargetkan restorasi gambut sebesar 2,4 juta hektar mulai tahun 2016 sampai 2020. Areal tersebut tersebar di 7 propinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Papua) dan 4 kabupaten prioritas (OKI, Musi Banyuasin, Kepulauan Meranti dan Pulang Pisau). Dari target restorasi tersebut, terdapat 1,4 juta hektar merupakan kawasan hutan yang dibebani hak, sehingga kegiatan restorasi menjadi kewajiban pemegang ijin, sedangkan 600 ribu hektar merupakan hutan lindung dan kawasan konservasi. Dengan demikian hanya 400 ribu hektar areal target restorasi di Areal Pengguan Lain (APL) dan dapat melibatkan masyarakat (Kompas, 2017).
Pendekatan yang perlu diterapkan dalam kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut tersebut mencakup 3 hal utama yaitu rewetting (pembasahan kembali lahan gambut), revegetasi (penanaman kembali areal yang terbakar) dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat. Untuk melaksanakan tiga kegiatan utama tersebut dibutuhkan dukungan IPTEK paludikultur dan agroforestry. Paludikultur merupakan salah satu sistem dan/atau teknik rehabilitasi dan restorasi hutan rawa gambut, yaitu penggunaan lahan rawa gambut secara produktif dengan cara-cara yang melindungi gambut melalui pembasahan kembali dengan menutup saluran-saluran drainase dan menanam jenis-jenis lokal (Joosten et al., 2012; Tata & Susmianto, 2016; Suryadiputra et al., 2005).